News

PENGUATAN PERAN PEREMPUAN DALAM MEMBANGUN KEHARMONISAN BANGSA

Munculnya realitas mengenai kondisi perempuan yang semakin buruk dan tidak diuntungkan selama masa pandemi ini, menegasikan bahwa kajian ulang terhadap perempuan dari berbagai sudut pandang secara komprehensif merupakan salah satu keniscayaan yang harus diambil. Terlebih dalam Islam sendiri, perempuan dianggap sebagai tiang negara. Jika dia baik, negara akan baik. Sebaliknya, jika dia buruk, negara juga akan buruk. Hal ini menunjukan bahwa perempuan pun sebenarnya memiliki peran yang tidak kalah penting dengan laki-laki dalam menentukan nasib diri mereka sendirid di samping dalam membangun pemerintahan yang baik dan kuat, khususnya di tengah pandemi Covid-19.

Oleh karenanya, “Reinforce The Role Of Women In The Privat And Public Sphere To Build A Harmonious Life” dipilih sebagai salah satu tema penting dalam panel yang akan dipimpin oleh Kholila Mukaromah (IAIN Kediri) bersama tiga panelis lainnya; Moh Muhtador (IAIN Kudus); Nor Faridatunnisa (IAIN Palangkaraya); dan Munirah (State Institute for Islamic Studies Palangkaraya).

Dalam panel ini, pembahasan dimulai oleh Mukarromah dari skala kecil namun memiliki pengaruh yang begitu besar. Mukarromah dalam artikelnya mencoba menganalisis konteks ketahanan keluarga sebagai representasi hadis Nabi terhadap beban ganda yang dialami perempuan selama masa pandemi ini. salah satu persoalannya ialah bagaimana caranya menciptakan kemitraan gender dalam menghadapi masalah beban ganda yang dialami perempuan dalam keluarga sesuai hadits.

Kemudian, karena perempuan dalam keluarga sebagai sosok penting yang dapat menajdi landasan bagi keutuhan negara. Maka, Muhtador juga mencoba membahas dalam penelitiannya tentang narasi hijrah dan qital yang berkembang dalam keluarga teroris perempuan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara epistemologis narasi hijrah dan qital yang berkaitan dengan budaya patriarki sehingga ada motivasi bagi perempuan dalam melakukan kekerasan, terorisme dan bahkan menjadi martir jihadis.

Selain itu, melalui metode living Quran dan pendekatan filosofis-simbolis, Faridatunnisa berusaha mengkaji satu tradisi Suku Banjar, yaitu tradisi yang dilakukan sebelum menikah atau yang lebih dikenal sebagai sebutan tradisi “Bataman al-Quran”. Penelitian ini mengungkap tradisi “Batamat al-Qur’an” bagi pengantin yang dilakukan oleh masyarakat Banjar untuk menggali landasan filosofis di balik pemilihan perempuan sebagai “pelaku” dan kaitannya dengan pengembangan masyarakat yang penuh dengan nilai-nilai filosofis. Hal tersebut juga sangat berkaitan erat dengan bagaimana perempuan mendapatkan apresiasi nyata untuk berperan di ranah publik juga di samping di ranah domestik mereka.

Terakhir, Munirah dalam kajiannya studi kitab ini berusaha mengungkapkan gerakan emansipasi wanita pertama kali dalam sejarah Islam, yaitu bagaimana Aisyah mengkritik tradisi-tradisi misoginis para sahabat yang disebutkan dalam kitab al-Ijabah li Iradi ma istadrakathu ‘Aisyah ‘Ala al-Shahabah karya al-Zarkasyi. penelitian ini sangatlah menarik karena Aisyah sendiri diriwayatkan mengomentari dan mengkritik beberapa hadis termasuk yang berkaitan dengan misoginis. (Tim Humas AICIS)

Leave Your Comment