Tidak mampunya pemerintah dalam menawarkan dan memberikan solusi yang baik untuk menekan angka perceraian yang sangat tinggi secara komprehensif menjadi suatu masalah yang meresahkan masyarakat dan pemerintah itu sendiri. Di samping ekonomi sebagai salah satu penyebab dominan dalam tingginya angka kasus perceraian, masyarakat dan pemerintah pun nampaknya seringkali hanya melihat masalah perceraian itu sendiri dari permukaannya saja dan secara tidak sadar memungkinkan mereka terjebak dalam ideologi transisional. Seperti hubungan antara suami-istri dalam status pencari nafkah keluarga dan terbukanya kesempatan kerja penuh bagi perempuan yang sering kali dianggap menjadi suatu kesalahan dan pemicu konflik yang bias gender dalam keluarga.
Oleh sebab itu, dalam rangkaian forum panel discussion AICIS ke-20, Ulin Na’mah (IAIN Kediri) akan memimpin empat panelis lainnya; Mazro’atus Sa’adah (UIN Sunan Ampel Surabaya); Fatum Abu Bakar (IAIN Ternate); Solicha (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta); dan Nuril Hidayati (IAIN Kediri) untuk membahas “Family Resilience In The View Of Fiqh, Positive Law, Gender Relation, And Psychology Towards Fair And Harmonious Families In Indonesia” sebagai tema penting melalui penelitian yang telah mereka lakukan. Di antaranya, pertama, Sa’adah dalam artiklenya berusaha mencari tahu wacana masalah hidup sebagai alasan perceraian menurut kalangan ulama fiqh klasik dan bagaimana mengkontekstualisasikan nash-nash sebagai suatu keniscayaan untuk mencari solusi atas tingginya angka perceraian karena alasan ekonomi dan kehidupan dengan berpijak dari manhaj istinbat hukum ulama fiqh klasik.
Kedua, di tengah gempuran dan munculnya pemahaman tentang wacana kesetaraan gender yang begitu masif bersamaan dengan terbukanya lapangan pekerjaan baru, Abubakar mencoba menganalisis prinsip hukum dan dilema pertukaran peran dalam rumah tangga sehingga idealitas hubungan yang terjalin dapat menjadi bekal dari ketahanan keluarga dalam rangka mewujudkan ketahanan nasional. Ketiga, Solicha dalam artikelnya pun berusaha mengkaji beberapa variabel; alsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ), Centrality Religiousity Scale (CRS), The Social Provision Scale, dan Parental-Stress Scale sebagai faktor yang mempengaruhi sebuah keluarga memiliki resiliensi untuk beradaptasi secara kompeten ketika menghadapi krisis dalam bahtera rumah tangga.
Keempat, dari faktor ekonomi dan tidak terpenuhinya nafkah keluarga akibat aturan pembagian peran gender suami-istri dalam urusan nafkah yang baku, mutlak dikotomis, dan dinilai sudah tidak relevan, Hidayati mencoba meneliti ulang ketetapan hukum atas nafkah dalam tradisi pemikiran Islam dengan merekonstruksi metodologi dan melibatkan keilmuan modern serta maqashid syariah di dalamnya. Hal ini dapat menjadi solusi pragmatis untuk ketahanan keluarga dan mewujudkan tujuan dasar pernikahan dalam Islam yakni kebahagiaan.
Sehingga pembahasan ulang tentang masalah ekonomi dan mata pencaharian baik dari pandangan nash fiqh maupun hukum positif menjadi hal yang penting nan menarik untuk didiskusikan dengan berangkat dari penelitian yang komprehensif. Selain itu, topik-topik ketidaksetaraan gender, stres, dan konflik juga sering muncul dalam wacana pekerjaan perempuan sebagai penyebab perceraian, maka wacana ini pun juga penting untuk dipermasalahkan dari perspektif relasi gender dan psikologi.
(Naufal Aulia Hanif – Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)