“Peran dan kedudukan perundang-undangan sangat penting dan strategis dalam menetapkan aturan yang akan membentuk dan mendukung terwujudnya tatanan keluarga yang berkeadilan dan berkesetaraan gender.”
Agama, menurut Reynaldo Ileto (1992) merupakan salah satu kekuatan utama dalam melawan kolonialisme di Asia Tenggara. Seperti yang kita ketahui, di Burma, Vietnam, dan Kamboja, para biarawan dan agamawan Budha turut serta melawan Perancis. Lalu di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan beberapa wilayah di Thailand dan Filipina, agama Islam menjadi tonggak utama perlawanan terhadap kekuasaan kolonial saat itu. Di negara-negara tersebut, Islam berkembang dengan pelbagai dinamikanya.
Di antara perkembangan internal yang muncul di kajian lintas batas wilayah tersebut adalah permasalahan hukum Islam. Hukum Islam dan aspek kelembagaannya, seperti peradilan, teori hukum, dan pelbagai macam mazhab, menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam praktik kehidupan muslim di manapun dan kapanpun, hingga menjadi sebuah institusi hukum yang mandiri.
Upaya untuk melaksanakan hukum Islam yang paling menonjol adalah bidang hukum keluarga, karena merupakan poros syariah, pun dianggap sebagai tolok ukur terlaksana dan diakui atau tidaknya hukum Islam di suatu negara. Tema inilah yang nantinya akan didiskusikan dalam perhelatan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) pada 25-29 Oktober 2021 oleh Farid Sufian Shuaib, Profesor Hukum dari IIUM, dengan tajuk Islamic Family Law Revisited.
Institusionalisasi hukum Islam di pelbagai wilayah Islam telah berjalan ratusan tahun sejak masyarakat di wilayah ini menerima dan memeluk agama Islam. Kekuasaan-kekuasaan atas nama Islam menjadikan hukum Islam sebagai salah satu hukum yang dianut. Namun, kolonialisasi oleh bangsa Eropa banyak mempengaruhi berlakunya hukum Islam dalam lingkup wilayah Islam tersebut, seperti di Malaysia dan Indonesia.
Di Malaysia, misalnya, secara general norma-norma hukum internasional diakui sebagai tradisi hukum yang tidak dapat ditolak keberadaannya karena kenyataan era transnasionalisme dan global village pada saat ini di mana suatu negara tidak mungkin mengingkari pengaruh dan hubungan saling ketergantungannya dengan negara lain. Kendati, hukum internasional tersebut tetap harus ditempatkan pada posisi tertentu yang tidak bertolak belakang dengan identitas dan kedaulatan dalam negeri.
Karena itu, Farid Sufian Shuaib dalam The Status of International Law in the Malaysian Municipal Legal System: Creeping Monism in Legal Discourse? (2008), mengatakan bahwa status hukum internasional perlu dipahami dalam konteks sistem hukum domestik. Ketentuan dari instrumen internasional tidak dapat dengan sendirinya menjadi hukum bagi sistem hukum domestik. Doktrin monisme sistem hukum nasional dan internasional membentuk satu kesatuan bertentangan dengan hukum domestik. Artinya, mekanisme tertentu harus diciptakan di mana preferensi harus diletakkan pada sistem hukum domestik yang berfungsi sebagai katalisator dari norma-normal internasional (Ratno Lukito, 2015).
Di sisi lain, hukum Islam, utamanya ranah perkawinan dan kehidupan keluarga merupakan ranah yang sarat persoalan dan isu gender, seperti poligami, perceraian, nikah usia dini, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, peran dan kedudukan perundang-undangan sangat penting dan strategis dalam menetapkan aturan yang akan membentuk dan mendukung terwujudnya tatanan keluarga yang berkeadilan dan berkesetaraan gender.
Penulis: *Khoirul Athyabil Anwari – Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta.
Editor: Arkin Haris
Publikasi : Wibowo Isa